Sabtu, 27 Agustus 2011

Persembahan Terakhir

REAL LIVE!!!
Jam menunjukkan pukul 20.00. Adzan yang menandakan sholat Isya, selesai sudah. Dibawah sinar bulan purnama, suara jangkrik terdengar jelas bersahutan. Diiringi suara burung hantu yang tidak mau mengalah, seakan menjadi nyanyian indah di malam terang.
Begitupun denganku, seorang siswa kelas 6 SD, yang juga tak mau kalah dengan teman malam tersebut. Menggerakkan pulpen kesana kemari, menghiasi buku tugas sekolah. Ditemani kakakku yang duduk di bangku kelas 2 SMA, dan ayah yang menjadi kepala keluarga, sedang memutar tombol radio tuanya.
Suasana begitu berbeda dengan dua tahun yang lalu. Tampak keluarga yang utuh, dengan seorang ibu yang sangat aku cintai. Semenjak ia meninggalkan kami ke Negri tetangga, mengadu nasib sebagai TKW, hidup kami sangat berubah, mulai dari kebiasaan hidup, sampai tugas-tugas rumah tangga yang harus dibagi dua dengan kakak. Ayah yang berprofesi sebagai pekerja serabutan tak mampu menyembunyikan wajah sedih dan kosong selama kepergiannya. Apalagi kakak perempuan yang manis dan manja, kadang terlihat berkaca-kaca ketika melihat teman-teman sebaya bersama ibu mereka. Begitupun aku, aku yang paling muda dan yang paling rentan terkena hembus ejekan dari teman-teman yang mengataiku “anak pembantu…”. Sungguh keadaan yang sangat miris, melihat ekonomi keluargaku yang sangat tipis.
Tak terasa malam semakin larut, namun semangat para jangkrik tak kunjung surut. Mataku seakan tak mau ditawar untuk bekerja sebentar lagi. Akupun tumbang dari kursi reot yang kududuki, dan terkapar di tempat tidur yang keras sedikit kusuh. Di ruangan yang luasnya enam meter ini aku menghabiskan sisah malamku dengan istirahat.
***
Pagipun datang, suara kokokan ayam jantan dan kicauan burung menyambut pagi yang dingin. Hembusan udara menghampiri tubuhku, enggan rasanya beranjak dari kasur dan menjalankan tugas yang sudah menunggu. Dengan terbalut selimut kusur, aku meringkuk, melawan dinginnya udara pagi.
Di tengah-tengah suara kokokan ayam, tiba-tiba muncul suara keras dari depan pintu rumahku, “Abdullah…Abdullah…keluar!!”, suara keras itu ditujukan kepada ayah.
“Ya, sebentar..!”, jawab ayah sambil berlari kecil dan meraih pintu. Akupun ikut terbangun dengan rasa ingin tahu. Terlihat seorang perempuan separuh baya, sambil terengah-engah menghampiri ayah.
“Yani… Yani… Istrimu….”
“Ada apa? Ada apa dengan Yani?”, tanya ayah dengan sejuta tanda tanya. Tak lama kemudian kakakku yang mungkin baru saja mandi, menghampiriku.
“Istrimu….” seru perempuan itu sambil mengatur nafas, “tadi, saya dapat kabar, Yani lagi sakit, kata majikanya yang tadi menelfon lewat ponselku.”
“Sakit? Sakit apa?”
“Entahlah.”
“Terus, sekarang aku harus bagaimana?”
“Sudahlah, sekarang kita sama-sama berdo’a dan berharap agar tidak terjadi apa-apa dengan istrimu.”, perempuan itu mencoba menenangkan ayah.
Hari ini adalah hari minggu. Sungguh hari yang penuh rasa khawatir dan was-was.
***
Angin sore berhembus pelan mengantarkan dingin di sekujur tubuh. Kumasukkan kedua tanganku dalam saku jaket kusam pembelian ibu yang mengirimkannya satu tahun lalu. Setengah jam berlalu, kini waktu menunjukkan pukul 16.35, dan aku masih duduk santai di serambi rumah. Kejenuhan menyapa, kugeser kursi rotan ke dekat kolam kecil berisi ikan yang dikelilingi bunga-bunga. Ditengah kolam, terlihat setangkai teratai yang baru menguncup. Tiba-tiba sekilas bayangan ibu muncul dalam gelombang air, akupun sejenak teringat kenang-kenanganku bersamanya dua tahu silam.
Getaran air di kolam menggebu-gebu. Seorang perempuan berlari kecil menghamiriku sambil menangis, lalu merangkulku. Ternyata ia tetangga yang tadi pagi. Ayah yang baru saja sholat ‘Ashar pun keluar, kakak yang sedang mencuci piring juga berlari menghampiri sambil tak terasa satu piring masih di tangannya.
“Ada apa?” tanya ayah.
“Yani… yani…”
“Kenapa istriku?”
“Sabar ya Abdullah… Yani sudah tiada,” katanya lirih.
Suasana tenang terpecah ruah, hening, dan tak percaya. Tanpa sepatah katapun, ayah terlihat tak berdaya, iapun tersungkur jatuh.
“Pranggg…” terdengar piring yang jatuh bebas dari tangan kakak. Iapun tak mampu menahan rasa hancurnya, berguling-guling dan meraung-raung layaknya macan kelaparan. Sekelompok orang menghampiri rumahku, menggotong ayah yang tak sadarkan diri, dan menenangkan kakak.
Aku terdiam melihat kejadian ini. Masih duduk di kursi rotan, tak percaya peristiwa yang menimpa ibu.
“Sabar ya nak…” terdengar lirih di telinga kananku. Spontan kakiku lemas tak berdaya. Tak sadar telaga air matakupun tumpah meleleh membasahi pipi yang kusam.
***
20 Juni 2002. Hari ini jenazah ibu tiba di rumah. Sanak saudara telah banyak yang menantinya. Terlihat lengkung bola mata ayah membengkak. Empat hari ayah menangisi kepergian istrinya.
“Yah, kenapa ini harus terjadi? Hidup kita sudah susah, makanpun seadanya, ditambah lagi…ibu…. Bagaimana yah?”, tanyak kakak pada ayah sambil terisak. Tanpa komentar apapun, ayah masih terdiam dan masih menangis. Semua saudara berusaha menenangkan kami, terutama ayah. Ia pasti menjadi orang yang paling merasa kahilangan.
Sudah satu jam semua menunggu kedatangan jenazah, pukul 09.17, terdengar sirine ambulan mendekati rumahku. Suasana duka semakin tebal saat sebuah peti kayu digotong memasuki rumah dan diletakkan di atas meja panjang yang sudah disiapkan. Aku, kakak, dan ayah mendekat, peti kayu berukuran dua meter itu. Seseorang membukan tutupnya sebagian. Terlihat wajah yang takkan terlupakan, walaupun tlah dua tahun tak jumpa. Dua kapas terpasang di kedua hidung yang dulu selalu menghela nafas ketika aku bandel, dan di kedua telinganya yang dulu selalu mendengar pengaduanku.
Lagi-lagi ayah tumbang, ia pinsan. Ini yang ketiga kalinya selama empat hari silam. Aku tak karuan. Kakak memelukku, dan seorang saudara mengantar kami memasuki kamar. Sungguh tak adil, dua tahun dibayar sepuluh detik aku melihatnya.
***
Pukul 11.00, di pemakaman umum.
Kupeluk erat gundukan tanah merah di hadapanku, lelehan air mata menambah basah tanah yang baru saja ditimbun.
“Ibu… Ibu nggak boleh pergi,” tangisku keras, “Ngga mau… aku ngga mau pergi!” kutepis keras tangan yang berusaha merangkul tubuh yang lemah ini.
“Aku mau tetap disini sama ibu!”. Aku tak peduli dengan tatapan para pelayat. Kuremas tanah dengan tangan kanan. Air mata mengucur deras dari kedua mata tiada henti, suaraku serak, semakin teriak semakin kecil volume suaraku hingga tak terdengar. Kerongkongan kering dan kaku, mataku perih, pandanganku kalut.
Sekuntum kamboja putih luruh ditiup angin yang dingin, hatiku berkata, “Inikah hadiah ulang tahunku? Ulang tahun yang jatuh hari lusa. Dan inikah persembahan terahirmu?”

0 komentar:

Posting Komentar

 

OURS. Design By: SkinCorner